Kenapa Berhijab tapi Belum Shalihah?
Jilbab…
Sejak masuk sekolah dasar aku sudah mengenakan jilbab. Walau hanya dipakai ketika masuk sekolah saja. Ini sudah cukup untuk mendidik kami bahwa ternyata yang membedakan seorang muslimah dengan wanita dari agama lain adalah jilbab. So… bagaimana dengan muslimah yang tak mengenakan jilbab?? Jawablah pertanyaan ini sendiri.
Sampai di sekolah menengah pertama aku masih mengenakan jilbab ketika bersekolah. Saat itu aku belum memahami tentang kewajiban mengenakan jilbab. Tapi jika bertemu dengan guru atau teman sekolah dalam keadaan tak berjilbab rasanya maluuuu sekali. Alhamdulillah ternyata itu awal dari bagaimana cara Allah mengingatkanku tentang kewajiban berjilbab.
Selanjutnya seperti yang dijanjikan orangtuaku, ketika masuk SMA kami bebas memilih kemana pun kami ingin. Kebetulan nilai akhir kami (aku dan kakakku) mencukupi nilai standar untuk masuk sekolah favorit. Tapi kakak kakakku lebih memilih masuk Aliyah. Alasannya sekolah umum pasti mengurangi pelajaran agama. Sedang kakak ketigaku memilih masuk SMA negeri. Alasannya dia ingin masuk ke perguruan tinggi favorit lewat jalur undangan. Sedang aku memilih sekolah yang dekat rumah saja, yakni sekolah swasta di dekat rumahku.
Tentang kewajiban berjilbab aku baru mengetahuinya ketika di SMA, waktu itu pelajaran agama. Allah menerangkan tentang kewajiban menutup aurat dalam al-Quran Surrah Al-ahzab ayat 59 yang terjemahannya sebagai berikut:
“Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Walau belum bisa menyempurnakan jilbab untuk dikenakan. Tapi sejak SMA aku mulai inten mengenakan jilbab terlebih semenjak bergabung di Rohis, tapi busanaku belum membaik, masih mau mengenakan celana dan jilbabnya belum sempurna. Setelah masuk kuliah dan aktif di LDK barulah perlahan dan pasti jilbabku mulai diperbaiki. Dan Alhmadulilllah begitu luar biasanya menjaga marwah diri. Kita terhindar dan terjaga dengan busana yang kita kenakan.
Pernah aku bertanya kepada teman kuliahku yang hampir saja dikeluarkan dosen Agama Islam karena masuk kelas tanpa mengenakan jilbab, “Kenapa belum mau berjilbab?”
“Tunggu hati ini bersih, baru mau pake jilbab,” jawabnya.
Aku mengerutkan kening, tapi benar juga alangkah indahnya jika busana yang dikenakan sesuai dengan indahnya perbuatan. “Kapan itu?” tanyaku lagi sambil bercanda.
“Ya… enggak tau,” katanya.
“Keburu meninggal!” kataku menimpali, dan ia hanya tertawa.
“Entar pake jilbabnya di kuburan aja,” katanya.
“Ia juga sih, pocong kan menutup aurat, yak?”
“Hahaha…” dia tertawa keras mendengar pernyataanku. Ah… ternyata kita tak lebih baik dari mayat yang dibungkus auratnya dengan berlapis lapis kain kafan.
Jika kalian menemukan pernyataan: “Apakah kita melaksanakan kewajiban kita sebagai muslim harus menunggu hati kita bersih dulu?”
Maka jawablah: “Hidayah itu tidak datang dengan sendirinya, tapi kita yang menjemputnya. Dan Allah tidak akan mengubah suatu kaum, sebelum kaum itu merubah dirinya sendiri.”
So… apakah kita harus menunggu hati yang bersih dulu baru menutup aurat? Bagaimana hati kita bersih? Kotoran-kotoran itu masuk melalui aurat-aurat yang terbuka.
Adalagi pernyataan seperti ini: “Percuma jilbabnya lebar tapi hatinya busuk, nyeritain (ngomongin) orang, mulutnya nyinyir… ish… mending dibuka aja jilbabnya itu.”
Makhluk Allah tidak ada yang sempurnya, tapi saya pun tidak membela pihak manapun. Kita tanya dulu, kita menutup aurat ini karena apa? Jika kita melakukan ini karena Allah maka keridhoan Allahlah yang kita dapat. Jika menutup aurat karena ingin meraih sesuatu yang bukan karena Allah, maka itu pulalah yang kita dapat. Apa hubungannya dengan jilbab tapi perilakunya buruk? Itu artinya hidayah itu sedang berproses atau memang dia menutup aurat karena ingin meraih sesuatu dan bukan ingin mencari keridhoan Allah.
Misalnya, agar diterima kerja di sebuah instansi yang hanya menerima pekerja yang baik agamanya dan penampilannya, atau karena agar diterima sebagai pasangan hidup seseorang yang mencari pasangan dengan kriteria yang demikian, atau karena tuntutan keluarga, dan lain-lain.” Nah.. mari kita tanyakan kenapa kita berjilbab tapi perbuatan yang tidak baik masih saja dilakukan. Pacaran yes, ghibah oke, nipu teteup, marah-marah sering, dan lain-lain. Berarti itu karena kita belum bisa memperbaiki diri kita. Seharusnya hijab ini menjadi perisai bagi kita. Ketika kita ingin melakukan perbuatan buruk, berpikirlah, “Ah… enggak jadilah, malu aku sama jilbabku. Masa’ jilbabku lebar gini masih mau pacaran. Apa kata orang?” Biarlah ia menjadi alasan kita menjauhi perbuatan buruk sebelum hidayah itu tiba. Ia akan mendekatkan kita kepada ketakutan–ketakutan karena taatnya kita kepada Allah.
Inilah indahnya Islam, ia benar–benar rahmat bagi seluruh alam. Mari kita lakukan langkah-langkah berikut:
- Dekati Allah
- Perbaiki hijab
- Perbaiki tingkah laku
- Istiqomah dan tetaplah qona’ah
Duhai akhwatifillah, mungkin banyak sikap-sikap manusiawi yang masih saja menggoda kita sementara hijab ini tak mencerminkan tingkah kita. Maka yang perlu kita lakukan adalah restart, restart, dan terus me-restart diri, agar virus-virus itu tak sempat betah di hati kita. Tak semua yang berhijab itu baik, dan tak semua yang tak berhijab itu buruk, tapi yang berhijab dan berakhlak mulia itu adalah bidadari dunia yang sebenarnya. Maka mari kita wujudkan mimpi kita menjadi seorang bidadari dunia. Sebab kemajuan sebuah negara ada di tangan kita, para wanita. Begitu banyak para shahabiyah-shahabiyah yang luar biasa yang dapat kita jadikan teladan. Lewat sirahnya kita bisa banyak belajar darinya.
Akhir kata, “Hijab syar’i adalah pengontrol diri yang perlahan memfilter diri dari akhlak, lisan dan pemikiran yang tidak baik. Jikapun ada cacian sinis itu semata adalah acuan dakwah kita untuk semakin optimis dan istiqomah. Tetaplah lembut dan tawadhu’ dan menenangkan bagi saudari-saudari kita yang belum hijrah. Jika saudari kita belum bisa menerima kita bisa jadi itu karena kita yang merasa paling benar, maka qona’ahlah! Seorang yang berhijab memang belum tentu shalihah, tapi sudah pasti akhwat shalihah itu pasti berhijab.”
Buatku, kamu, dan kita semua.
Jangan lupa kunjugi trimbelboy.blogspot.com
Category: MOZAIK
0 comments